AKU MEMILIH HUJAN

Tag: Series



“Aku memilih Hujan, karena dia adalah titik temu kita.


Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan nama dan karakter jangan tersinggung ya^^


****


“Aku dan Kamu. Dua anak manusia yang mencari kebenaran. Kita bagaikan Alfa dan Omega. Yin dan Yang. Kamu adalah tujuan Aku diciptakan. Aku ada, untuk melengkapi idealisme mu yang pincang. ”


Hujan turun dengan deras, membasahi sebuah kota kecil yang sedang mencari titik popularitasnya. Ada sekian banyak manusia tetap memilih untuk sibuk. Demi mencapai kepuasan diri atau mungkin juga sebagian besar dari mereka dikejar oleh tanggal. Dari sekian banyak manusia yang memilih tidak peduli terhadap cuaca, mengabaikan kuasa Tuhan yang mungkin juga menyuruh mereka untuk beristirahat, ada segelintir manusia yang tetap peduli. Peduli bahwa hujan mengajak mereka untuk berkonsolidasi sejenak. Hujan yang ingin bergurau dengan kejamnya keserakahan manusia. Hujan yang ingin bernegosiasi dengan kesibukan manusia. Hujan yang ingin menyembuhkan hati yang telah lama tertutup, kepekaan yang hanya dimiliki ketika asa diujung tanduk. 


Dia, anak manusia yang berdiri di emperan toko. Berdiri sambil memakai jaket parasut yang telah basah oleh air hujan. Rambut panjangnya yang semula indah menjadi basah dan berantakan akibat terkena air hujan. Wajahnya terlihat resah, namun juga berusaha tenang. Dia mengeluarkan ponsel miliknya dan mengetikkan sesuatu. Lalu memasukkannya lagi. Sambil mengusap-usapkan kedua telapak tangannya, dia meniupkan tangannya agar terasa lebih hangat. 


“Seandainya hujan datang lebih sering, gundah akan hilang sesering itu juga.” gumamnya pelan.


“Jika hujan datang lebih sering, makan hanyalah resah yang akan muncul. Dengan begitu gundah akan muncul sesering itu juga.” Seorang lelaki rupanya menanggapi kalimat yang didengar dari bibir mungilnya. Dia menatap lelaki di sebelahnya sambil mengerutkan kening pertanda heran. Tanpa mengalihkan pandangan lelaki itu berucap lagi,


“Setiap aspek dalam kehidupan diciptakan dengan tujuannya masing-masing. Semua disesuaikan dengan setiap pribadi manusia. Sedangkan manusia, diciptakan dengan segala kecerdasannya untuk meneliti aspek kehidupan lain yang diciptakan Tuhan. Setiap manusia akan memiliki pendapatnya sendiri-sendiri mengenai tujuan penciptaan. Hal itu memunculkan begitu banyak teori.” Lalu lelaki itu menoleh ke arahnya, membuat mereka bertemu tatap. Untuk seperkian detik, dia hanya termangu menatap tatapan tajam lelaki di depannya. Bukan hanya tajam, tetapi penuh pesona. Segala dewi yang ada pasti juga setuju tentang betapa mempesona tatapan lelaki ini


“Maaf, Nona. Tidak sopan menatap lelaki yang tidak Anda kenal seintens itu.” tegur lelaki di hadapannya. Dia yang dipanggil Nona langsung tersadar dan salah tingkah. 


“Maaf.” Hanya itu yang mampu diucapkannya.


“Baiknya kita kenalan dulu. Dengan begitu Anda akan lebih pantas menatap saya lebih lama.” Kalimat sarkastis yang terlontar dari mulutnya membuat Dia jengkel. 


“Nama saya Dhirga. Anda?” Katanya sambil mengulurkan tangan. Dengan ragu-ragu, Dia membalas uluran tangannya dan memaksakan seulas senyum.


“Nuna.” Balasnya singkat.


“Anda cantik, Nona. Lebih cantik jika tersenyum lebih alami.” Komentar Dhirga.


“Anda juga tampan, Tuan. Lebih tampan jika Anda menata ucapan Anda agar lebih lembut.” Sahutnya dalam hati.


“Jadi, bisakah Anda menjelaskan maksud dari semua pendapat yang Anda utarakan tadi?” tanya Nuna. Dhirga tersenyum singkat lalu meletakkan kedua kepalan tangannya pada saku celana.


“Di dalam hidup terdapat berbagai sudut pandang. Sudut pandang itu menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Tapi dari semua sudut pandang, ada yang diciptakan untuk saling berpasangan. Mereka saling mengisi, melengkapi, dan memperbaiki.” Kata Dhirga.


“Kesimpulannya? Saya belum memahami arah pembicaraan Anda.” tanya Nuna.


“Anda suka hujan karena dapat menghilangkan gundah. Saya tidak suka hujan karena memunculkan gundah. Dua sudut pandang yang berseberangan. Namun, bukan berarti tidak ada titik temu diantara kita. Mungkin saja, perbedaan yang jauh itu membuat kita menemukan titik temu. Entah bagaimana caranya. Aku dan kamu. Mungkin saja kita adalah Alfa dan Omega. Yin dan Yang.” Kata Dhirga.


“Anda adalah Mahasiswa?” tanya Nuna. Dhirga mengangguk.


“Jurusan Sastra?” tanyanya lagi. Dhirga menggeleng pelan.


“Teknik Pertanian.” Jawabnya kemudian. Nuna langsung melotot karena kaget. Bagaimana bisa mahasiswa teknik pertanian mempunyai kosa-kata sedemikian rupa.


“Bagaimana Anda bisa berbicara seperti itu?” Tanya Nunna.


“Anda tertarik? Saya bekerja sambilan di CafĂ© Esscelso Lippo. Temui saya jam makan siang. Kita bisa mengobrol santai.” Ajaknya.


Saat itu Nuna tidak pernah tahu, bahwa hujan telah membantu takdir untuk mempertemukan mereka berdua. Nuna dengan pergulatannya sendiri. Dhirga dengan beribu sua yang muncul di setiap celotehannya. Bagi Nuna, Dhirga selalu memiliki cara tersendiri untuk membuatnya tersenyum, cara yang tanpa ia sadar memiliki pola kunci yang sama dengan lubang pada kunci pintu hatinya. Bagi Dhirga, Nuna adalah porosnya dalam berputar. Pada detik pertama, Dhirga tahu apa alasan dia diciptakan di dunia ini. Untuk membentuk lengkungan manis pada bibir Nuna. Senyuman manis yang jarang terlihat. 


Momen itu adalah titik pembuka saat dua anak manusia bertemu takdir. Setelah itu, segalanya tak akan pernah sama. Kebenaran akan saling beradu. Perasaan akan saling mencari titik temu. Pergulatan dimana-mana. Namun, kebahagiaan akan kembali. Bukan hanya untuk menantikan hujan, tetapi juga pelangi yang muncul selepas hujan pergi.


****


to be continued---

Komentar